Pagelaran budaya
Dieng Culture Festival 2017 telah usai. Selama tiga hari berturut-turut, ribuan wisatawan lokal maupun mancanegara di manjakan dengan berbagai rangkaian acara yang apik. Mulai pameran produk UKM Dieng, Jazz Atas Awan, hingga festival kembang api dan lampion. Puncaknya, akan diadakan kirab budaya dan pemotongan rambut anak gembel (
red: Masyarakat Dieng menyebutnya "Anak Gembel", bukan gimbal).
Pemotongan/ruwatan rambut anak gimbal tersebut sudah menjadi tradisi turun-temurun masyarakat Dieng, dan memiliki mitosnya sendiri. Menurut masyarakat Dieng, anak-anak berambut gimbal merupakan titipan dari Kyai Kolo Dete yang mendapat wahyu dari Ratu Pantai Selatan untuk mensejahterakan masyarakat Dieng. Tolak ukur kesejahteraan itu di tandai dengan anak-anak berambut gimbal.
|
Prosesi ruwatan rambut anak gimbal di Candi Arjuna |
Dengan menggunakan motor, saya dan kedua teman saya bertolak dari Semarang menuju Dieng pada Jum'at malam. Perjalanan ditempuh sekitar empat jam melewati Sumowono kemudian Temanggung. Sekitar pukul 11 malam kami tiba di Dieng, tepatnya di komplek Candi Arjuna. Suasana masih ramai karena bertepatan dengan selesainya Jazz Atas Awan. Penampilan Anji berhasil menghibur masyarakat Dieng dan sekitarnya ditandai dengan antusiasme pengunjung yang banyak.
Mendatangkan Anji sebagai bintang tamu Jazz Atas Awan nampaknya kurang serasi dengan konsep jazz yang di usung. Merupakan kali kedua pelantun lagu "Dia" ini menjadi pengisi acara di
Pop Jazz Atas Awan. Alangkah lebih baik bila panitia memberikan nuansa yang berbeda tiap tahunnya. Yaa walaupun itu hanya pendapat subjektif saya pribadi. Tapi setidaknya dapat menjadi masukan pihak penyelenggara.
|
Suhu mencapai 10⁰ C |
Karena suhu di Dieng mencapai 10⁰ C, mampirlah kami di kedai kopi "Pamit Ngopi" demi segelas kehangatan. Terdapat sebuah perapian yang berada di tengah-tengah ruangan, membuat kedai ini unik tak seperti yang lainnya. Segelas teh Tambi dan Kopi Ratamba cukup untuk menghangatkan badan. Walaupun minuman yang kami pesan langsung menjadi dingin.
Malam itu kami bermalam di Basecamp Gunung Prau jalur Dieng Wetan. Karena selain dekat dengan lokasi acara Dieng Culture Festival, tidur di sini juga tidak dikenakan tarif alias gratis. Meskipun sudah menggunakan jaket tebal dan sleeping bag, hawa dingin tetap terasa karena pada pagi hari suhu udara mencapai 6°C. Fasilitas juga lengkap mulai tempat parkir, kamar mandi, hingga warung makan. Selain itu juga dapat menikmati Dieng dari ketinggian. Paginya, kami berjalan-jalan melintasi perkebunan warga untuk menikmati udara segar. Tak lupa mencoba buah-buahan khas ketinggian yaitu buah carica dan terong belanda.
|
Menikmati pagi hari di jalur pendakian G. Prau |
|
Warga membawa pulang hasil dari ladang |
Sekedar info bahwa tiket Dieng Culture Festival sudah habis dari jauh-jauh hari. Termasuk homestay-homestay yang berada di sekitar acara sudah full booked semua. Jika ingin menginap di homestay lebih baik bersama rombongan. Karena tarif per malamnya mencapai 500 ribu, dan minimal menginap yaitu dua malam. Kecuali kamu anaknya Amin Richman yang kuat menanggungnya sendiri. Apalah aku yang hanya rakyat sipil biasa :(
|
Tuh, rumah aja dibakar :( |
Jika masih bingung untuk menginap, cobalah bertanya dengan warga sekitar. Biasanya mereka akan senang hati mengijinkan bermalam di rumahnya. Tentu dengan harga yang sudah disepakati. Lebih murah tergantung kepintaran menawar. Jadi estimasi pengeluaran untuk 1 tiket DCF+2 malam homestay sekitar 1,3 juta. Karena untuk 1 tiket Dieng Culture Festival seharga 300 ribu. Atau dapat ikut jasa open trip biar tidak ribet.
Selain sebagai ajang memperkenalkan budaya lokal, Dieng Culture Festival ini juga dijadikan media promosi berbagai produk UKM Dieng. Mulai dari kerajinan tangan hingga makanan. Secara tidak langsung ikut memajukan perekonomian warga setempat. Makanan dan minuman khas Dataran Tinggi Dieng adalah mi ongklok dan purwoceng. Sempatkanlah mencicipinya, karena tidaklah berkunjung ke Dieng tanpa mencoba menu yang satu ini.
Setelah lelah berkeliling Dieng Culture Festival seharian, segera kami mendirikan tenda yang kami bawa dari rumah. Karena terdapat camping ground dekat dengan panggung utama. Tempat dimana akan diterbangkannya ribuan lampion dan kembang api malam nanti. Semakin sore semakin banyak pula yang mulai mendirikan tenda. Salah satunya rombongan dari UMY Jogja, yang pada akhirnya menemani kami menikmati festival lampion malam itu.
Lihat juga: Festival Lampion Dieng Culture Festival (Video)
Akhirnya malam yang dinanti datang juga. Pengunjung mulai berdesak-desakan memadati Komplek Candi Arjuna. Mengabaikan dinginnya Dieng, mengubah menjadi hangatnya kebersamaan. Meskipun tanpa tiket dan dibatasi pagar pembatas, saya pastikan atmosfer yang dirasakan akan sama. Terimakasih kawan-kawan UMY Jogja yang sudi berbagi kebersamaan sehingga malam kami tidak suwung-suwung amat. Hahaha.
|
Bersama kawan-kawan UMY Jogja |
|
Pintu masuk DCF 2017 yang dihias menggunakan bambu |
Puncak acara dari
Dieng Culture Festival ini adalah pemotongan/ruwatan anak-anak berambut gimbal. Sang anak akan meminta beberapa permintaan yang harus dipenuhi sebelum rambutnya dipotong. Ada yang meminta iPad, boneka, hingga dua ekor sapi. Terkadang permintaan anak-anak itu cukup menggelikan. Seperti Hikma Hidayah (5) yang meminta rambut gimbalnya dipotong oleh Om Ujang tukang cukur yang dikenalnya, Afifah Ambani (9) meminta serutan pensil dan paha ayam kentucky, dan Nur Aminatun (6.5 tahun) minta diberi jajanan warung tetangga meski dirumahnya memiliki warung juga.
Berarti benar kata pepatah...
"Rumput tetangga lebih hijau ketimbang rumput sendiri"
Kenapa rumput tetangga selalu lebih hijau? Masih menjadi misteri.
Baca Juga: Hostel Murah, Hanya 50 Ribu di Jogja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar